Ismie Nurbarina: A Week Back to Campus

Seperti yang pernah saya katakan pada postingan yang lalu bahwa “Tidak ada pertemuan yang abadi. Tapi, layaknya pertemuan, tidak ada perpisahan yang abadi”.

Yup! Seminggu yang lalu saya bertemu kembali sama teman-teman kampus seangkatan. Lebih tepatnya, sih, “dipertemukan” oleh kampus. Sebagai anak-anak lahiran tahun 93 yang saya pikir adalah anak-anak yang sering dijadiin kelinci percobaan, kami diwajibkan untuk mengikuti satu ujian lagi untuk mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi). Meskipun udah lulus, meskipun udah diwisuda.

STR ini adalah surat yang menyatakan bahwa kami berkompeten dan bener-bener syaaah menjalankan profesi. Berbeda dari tahun sebelumnya yang hanya memerlukan pas photo dan fotocopy ijazah untuk mendapatkan STR, tahun ini ditambah satu syarat yaitu lulus uji kompetensi. Boleh, sih, nggak ikut uji kompetensi. Tapi, apa mau nanti dianggap sebagai bidan ilegal? Saya, sih, NO.

Jadi, bulan Juli wisuda, bulan November uji kompetensi. Wisuda dulu, baru uji kompetensi. Berenang ketepian dulu, baru berakit-rakit ke hulu. Seneng-seneng dulu, lalu deg-degan lagi.

Begitulah kira-kira. Nggak ngerti? Please, kali ini ngertiin aku dong. #halah

selfie? wajib!

Hampir 4 bulan saya nggak pernah ngerasain lagi gimana rasanya bangun pagi, telat ngampus, ribut dikelas, rebutan kipas angin, diomelin dosen, ataupun dengerin suara sopran ibu-ibu berambut pendek. Who? Pembimbing TA saya terkece.

Temen-temen seangkatan dari pelosok Kalimantan yang sebenernya nggak pelosok-pelosok amat datang ke kampus buat ikutan uji kompetensi. Banyak cerita yang mereka bawa. Ada yang udah ngerasain gaji pertama, ada yang udah ngerasain malam pertama, ups, haha, iya, serius.

Ada yang punya pacar baru, yang dia bilang “Bukan pacar tapi calon suami”. Sebagai perempuan single berhati lugu, saya terharu sampai pengin nangis dan pengin banget jambakin rambutnya.

Lalu, ada yang udah tunangan, photo prewedding, dan sebentar lagi naik pelaminan. Sayangnya nggak ada yang sekalian aja nyebarin undangan pernikahannya, gitu.

Dan beberapa ada yang terlihat tambah gendut. Bukan beberapa, tapi banyak. Diantaranya gendut yang disebabkan karena sudah berbadan dua dan beberapanya lagi karena rajin makan. Mungkin kerjaan anak-anak berbadan gendut alasan kedua tadi di rumah cuma makan-tidur-makan-tidur-makan-tidur. Berbeda sekali dengan saya yang makan-makan-makan lalu tidur-tidur-tidur. Sungguh berbeda sekali.

Ternyata gini ya rasanya ngampus tanpa seragam. Amburadur..

Itu yang "sadar kamera" pengantin baru, gaes.

Tidak hanya itu, suasana kampus juga terlihat berbeda. Banyak ruangan baru dan banyak kipas angin baru. Dan banyak dosen-dosen berwajah baru. Bukan karena mereka operasi plastik, bukaaan. Baru! Bener-bener baru dan asing bagi saya dan teman-teman angkatan VIII.

Selain itu, banyak yang hilang dari kampus dengan suasana baru itu. Salah duanya dosen-dosen berjiwa muda semasa angkatan saya kuliah dulu dan mas-mas penjual manisan buah di ujung koridor kampus (eh! Bukan).

Kabarnya, dosen-dosen berjiwa muda itu sudah resign. Sama seperti teman-teman saya, ada yang nikah, ada yang pulang ke kampung halamannya, ada yang lagi fokus kuliah, ada yang mencoba peruntungan lain, pokoknya ada-ada aja deh.

Untungnya masih ada dosen-dosen berwajah familiar. Ibu-ibu dengan rambut pendek pun masih ada, lengkap ada tiga. Dan juga dosen PA saya masih dengan gaya mengajarnya yang santai dan super cozy. Jadi, nggak terasa asing-asing banget lah.

A week back to campus, lumayan buat ngilangin kangen dan bikin semangat bekerja (dan berkarya) lalu nanti ketemuan lagi, ngegosip lagi, dan mungkin nanti ada yang udah gendong anak.

At last but not least, terima kasih untuk para dosen yang udah repot-repot ngedaftarin ujikom, ngabarin info-info berkaitan ujikom, dan udah ngasi bimbingan belajar sebagai upaya yang saya pikir itu adalah do’a untuk kelulusan kami, mahasiswi-mahasiswi angkatan VIII yang banyak-mau-nya dan banyak-ngeluh-nya ini.