Bekerja
jauh dari rumah memang menguras tenaga dan perasaan. Ada rindu yang kerap kali
datang dan memaksa untuk pulang. Makan malam bersama keluarga, berkumpul
bersama sahabat, atau sekedar main-main di pantai bersama “seseorang”. (namun yang terakhir seringkali gagal)
Belum
lagi persoalan jarak dan jalan yang kondisinya bergantung pada alam. Mustahil
jika tidak berlumur lumpur atau berbalut debu. Perjalanan yang biasanya dapat
ditemput selama 4 jam-an, dapat menjadi dua kali lipat akibat derasnya hujan.
Tanjakan semakin sulit di daki, turunan malah lengser tanpa gas. Terpeleset
hingga ban mendesing bukan hal yang tabu lagi.
Tapi,
siapa yang peduli??
“Resiko!”,
teriak mereka yang hidupnya di kota.
Saya
tidak menulis ini untuk mengemis belas kasihan orang – orang, atau mengiba
kepada pemerintah perihal jalanan yang hancur lebur. Masa bodo tentang
kepeduliaan mereka. Saya sudah punya keluarga dan sahabat untuk itu. Saya hanya
ingin menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai perantau pedalaman.
Kami,
para perantau pedalaman, yang ‘katanya’ tidak pernah kerja satu bulan penuh,
yang ‘katanya’ makan gaji buta, yang ‘katanya’ banyak uang, yang ‘katanya’
selalu minta pindah ke kota, yang ‘katanya’ lebay lah drama lah ini lah itu
lah, memohon maaf untuk 3 – 4 hari ijinnya setiap bulan untuk sekedar pulang ke
rumah. Untuk rindu yang tidak pernah tuntas. Untuk ketidakdisiplinan terhadap
waktu. Untuk diri kami sendiri.
...