Jumat, 10 Februari 2017

Untuk Rindu Yang Tak Pernah Tuntas




Bekerja jauh dari rumah memang menguras tenaga dan perasaan. Ada rindu yang kerap kali datang dan memaksa untuk pulang. Makan malam bersama keluarga, berkumpul bersama sahabat, atau sekedar main-main di pantai bersama “seseorang”. (namun yang terakhir seringkali gagal)

Belum lagi persoalan jarak dan jalan yang kondisinya bergantung pada alam. Mustahil jika tidak berlumur lumpur atau berbalut debu. Perjalanan yang biasanya dapat ditemput selama 4 jam-an, dapat menjadi dua kali lipat akibat derasnya hujan. Tanjakan semakin sulit di daki, turunan malah lengser tanpa gas. Terpeleset hingga ban mendesing bukan hal yang tabu lagi.

Tapi, siapa yang peduli??
“Resiko!”, teriak mereka yang hidupnya di kota.

Saya tidak menulis ini untuk mengemis belas kasihan orang – orang, atau mengiba kepada pemerintah perihal jalanan yang hancur lebur. Masa bodo tentang kepeduliaan mereka. Saya sudah punya keluarga dan sahabat untuk itu. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai perantau pedalaman.

Kami, para perantau pedalaman, yang ‘katanya’ tidak pernah kerja satu bulan penuh, yang ‘katanya’ makan gaji buta, yang ‘katanya’ banyak uang, yang ‘katanya’ selalu minta pindah ke kota, yang ‘katanya’ lebay lah drama lah ini lah itu lah, memohon maaf untuk 3 – 4 hari ijinnya setiap bulan untuk sekedar pulang ke rumah. Untuk rindu yang tidak pernah tuntas. Untuk ketidakdisiplinan terhadap waktu. Untuk diri kami sendiri.

...