Rabu, 27 September 2017

Menjalani Waktu



Hari ini aku bangun agak pagi. Sinar mentari yang menelusur lewat celah - celah ventilasi jendela kamar, membuyarkan mimpi tentang Dia yang baru saja ku mulai. “Dia” yang entah siapa aku juga tidak tahu.

Ku ambil handphone yang sengaja ku letakkan sedikit jauh dari kasur, lalu ku play Honeymoon milik Johnny Stimson. Lagu yang baru - baru ini selalu menemani hariku. Lagu yang dapat membolak-balikkan mood. Lagu yang renyah untuk didengar sembari menyicil proyek novel wishlist 2 tahun lalu, atau sembari mengkhayal tentang indahnya berdua bersama “seseorang” seperti yang dikata Johnny Stimson dalam lirik lagunya.

Lalu, ku buka akun instagramku. Ada satu pesan direct dari seorang teman yang sudah lama tak ku jumpai. Ia menanyakan kabar dan keberadaanku sekarang. Aku menjawab seadanya dan seolah tahu maksud pertanyaannya itu, ku balas lagi, “Mau nikah?”.

Sabtu, 26 Agustus 2017

Dear Ji

Selain bodoh aku ini juga pengingkar janji.

Beberapa bulan yang lalu temanku menikah. Aku diundangnya. Namun, aku berhalangan hadir karena pekerjaan yang mengharuskanku jauh dari rumah. Aku sudah kebanyakan izin kerja pada bulan dimana temanku melangsungkan pernikahan.

Lalu, pada sebuah pesan whatsapp, berucaplah si tukang ingkar janji ini, "Aku tak bisa hadir, maaf, do'a dan kado aja ya". Namun pada kenyataannya hingga sekarang kadonya belum juga terkirim.

Aku sengaja merancang sendiri desain kado untuk temanku ini. Sebuah hadiah yang sudah kupikirkan matang-matang untuknya. Tidak mahal, namun kuyakin akan sangat disenanginya. Namun, lagi-lagi proses pemesanannya gagal. Sudah dua kali pada dua toko yang berbeda.

Duuuh.. bagaimana ini, Ji? Kadoku belum juga ditangamu. Sungguh aku tak punya muka untuk bertemu denganmu.

Ji, Maukah kamu menunggu sedikit lebih lama lagi?

Jumat, 10 Februari 2017

Untuk Rindu Yang Tak Pernah Tuntas




Bekerja jauh dari rumah memang menguras tenaga dan perasaan. Ada rindu yang kerap kali datang dan memaksa untuk pulang. Makan malam bersama keluarga, berkumpul bersama sahabat, atau sekedar main-main di pantai bersama “seseorang”. (namun yang terakhir seringkali gagal)

Belum lagi persoalan jarak dan jalan yang kondisinya bergantung pada alam. Mustahil jika tidak berlumur lumpur atau berbalut debu. Perjalanan yang biasanya dapat ditemput selama 4 jam-an, dapat menjadi dua kali lipat akibat derasnya hujan. Tanjakan semakin sulit di daki, turunan malah lengser tanpa gas. Terpeleset hingga ban mendesing bukan hal yang tabu lagi.

Tapi, siapa yang peduli??
“Resiko!”, teriak mereka yang hidupnya di kota.

Saya tidak menulis ini untuk mengemis belas kasihan orang – orang, atau mengiba kepada pemerintah perihal jalanan yang hancur lebur. Masa bodo tentang kepeduliaan mereka. Saya sudah punya keluarga dan sahabat untuk itu. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang saya rasakan sebagai perantau pedalaman.

Kami, para perantau pedalaman, yang ‘katanya’ tidak pernah kerja satu bulan penuh, yang ‘katanya’ makan gaji buta, yang ‘katanya’ banyak uang, yang ‘katanya’ selalu minta pindah ke kota, yang ‘katanya’ lebay lah drama lah ini lah itu lah, memohon maaf untuk 3 – 4 hari ijinnya setiap bulan untuk sekedar pulang ke rumah. Untuk rindu yang tidak pernah tuntas. Untuk ketidakdisiplinan terhadap waktu. Untuk diri kami sendiri.

...