Halo.. Selamat pagi, Bu.
…
Mmm.. Saya bingung mau
nulis apalagi setelah bilang halo dan selamat pagi, Bu. Nanyain kabar? Tapi
kita baru saja bertemu beberapa hari yang lalu. Mau nulis heyo what’s up? Malah jadi kelihatan sok akrab. Jadi, langsung aja
ya, Bu.
Belakang pojok sebelah kanan |
Bu..
Dulu, sewaktu semester
kedua perkuliahan, ibu keren sekali. Ketika itu ibu sedang hamil anak kedua,
usia kehamilan ibu saat itu mungkin sudah memasuki 28 minggu. Namun, ibu tetap
selincah seperti biasanya. Menjelaskan pelajaran, mempraktekkan ilmu,
mengendarai motor sendiri dari kampus lama ke kampus baru, bahkan
marah-marahnya ibu tidak berubah sedikitpun. Di mata saya, ibu telah berhasil
merealisasikan apa yang selalu ibu ajarakan kepada kami. Ibu berhasil
membuktikan bahwa kehamilan bukanlah alasan untuk bermalas-malasan.
Setelah melahirkanpun ibu
tidak memerlukan waktu lama untuk kembali pulih dan mengajar seperti biasa
lagi. Ibu selalu bersemangat membagi ilmu kepada kami. Ibu
sangat keren. Two thumbs for you.
Bu..
Apakah ibu ingat saat
pertama kali ibu marah pada saya? Ibu memanggil saya yang saat itu menjabat
sebagai ketua kelas ke kantor dosen. Ibu bertanya “Siapa yang datang
terlambat?” Dengan berani saya menjawab tidak ada yang datang terlambat. Padahal ibu melihat dari jendela ruangan ibu ada yang datang terlambat. Saat itu ibu
hampir menghukum saya karena berbohong dan mencoba menyembunyikan teman saya
yang datang terlambat. Ibu tampak begitu kesal.
Di semester IV, Ibu terlihat
10 kali lipat lebih kesal dari sebelumnya. Saat itu ibu meminta kami anak-anak
VIII A untuk meminjamkan almamater kepada adik tingkat yang akan koor di wisuda ibu-ibu progsus. Tapi,
keesokan harinya hanya beberapa orang yang membawa almamater. Besoknya
lagi, malah gak ada yang bawa sama sekali. Ibu mengembalikan almamater itu.
Saya ingat betul saat itu ibu berdiri di depan pintu kelas kami di kampus baru,
lalu berkata..
“Terima kasih buat yang udah mau minjamin almamaternya. Saya sudah
catat nama-namanya. Buat yang gak mau minjamin juga terima kasih. Saya akan
ingat ini. Saya akan ingat betul ini.”
Seisi kelas hening.
…
Bu..
Apakah ibu tau kalau
saya adalah salah satu dari anak-anak yang gak bawa almamater? Alasan saya,
mungkin juga teman-teman saya, gak bawa almamater karena lupa, bukan karena gak
mau minjamin ke adik tingkat, Bu. Serius.
Bu..
Apakah ibu juga tau
kalau ibu adalah salah satu dosen yang sangat saya segani semenjak kuliah? Jika
mahasiswi lain memilih untuk duduk di kursi paling depan agar mudah mencerna ilmu
ataupun mudah dikenal oleh ibu, saya lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang,
pojok sebelah kanan. Sebisa mungkin saya sembunyikan wajah saya dari pandangan
ibu. Saya takut jikalau ibu bertanya kepada saya, saya tidak bisa menjawab,
lalu ibu marah-marah. Saya takut sekali itu.
Tapi, Bu.
Semakin saya menjauhkan
diri dari ibu semakin keadaan mendekatkan kita. Seperti saat presentasi
individu, dosen pematerinya adalah ibu. Dengan terbata-bata saya menjelaskan
materi bagian saya. Saat itu ibu memuji presentasi saya karena saya menampilkan
gambar yang dapat membantu teman-teman memahami materi yang saya sampaikan.
Namun, ibu juga mengkritik karena saya begitu kaku dalam menyampaikan materi. Sambil
ketawa-ketawa kecil, ibu bilang saya mengalami penyakit “G” yaitu gerogi.
Saya memang gerogi, Bu.
Selain itu adalah presentasi individu pertama saya, dosen pematerinya adalah
ibu, dosen yang sangat saya segani.
Lalu, saat semester
akhir, kita semakin sering bertemu karena ibu adalah dosen pembimbing TA saya. Banyak
sekali hambatan di masa-masa TA, mulai dari judul yang gak masuk akal, judul
ditolak, sampai harus menunggu kepulangan ibu dari jadwal kuliah ibu. Belum
lagi saya harus menaklukkan rasa takut setiap kali ingin konsul TA.
Bu..
Sebenarnya saya malu
setiap kali bertemu ibu semenjak ujian proposal 14 Mei yang lalu. Apa ibu masih
ingat hal yang terjadi pada hari itu? Apa ibu masih marah pada saya karena itu?
Maaf untuk semua
kebodohan dan kecengengesan saya, Bu.
Kejadian 14 Mei itu
membuat rasa takut saya menjadi 75%, rasa malu 80% dan rasa gak pengin
konsul lagi 97%.
Dengan bermodalkan niat
konsul 3% akhirnya saya bisa juga sidang TA.
Satu hari sebelum
sidang ibu menelpon saya. Bu, apakah ibu tau saat ibu menelpon, saya tidak
sedang berada di kamar mandi? Saya ada di depan handphone saya, Bu. Sambil
memandangi nomer panggilan masuk di layar handphone,
saya berpikir..
“Serius
ini ibu? Kesalahan apalagi yang saya perbuat? Ah ini pasti jebakan, nih, pasti
ada kamera tersembunyi, nih.”
Hingga akhirnya handphone berhenti berdering.
Lalu, saya sms ibu,
bilang tadi lagi di kamar mandi. SMS karena pulsa gak cukup buat nelpon, Bu.
Tak lama setelah sms terkirim, Ibu menelpon lagi.
Bu, kenapa gak sms aja,
Bu?
Saya menjawab. Ibu
berbicara…di telpon. Meski saya gak tau apa yang ibu pikirkan tentang saya saat
itu, saya merasa senang. Itu kesempatan yang gak semua mahasiswi dapatkan. Berbicara
di telpon, dipanggil “Nak” oleh ibu.
Saya
lebay? Katanya iya, Bu.
Lalu besoknya saya
sidang TA. Yang menurut saya tidak keren sekali karena ketidakyakinan saya di
awal. Sungguh bukan akhir seperti itu yang saya inginkan. Jelek sekali.
Bu..
Maaf jika saya lancang menulis
surat ini. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin mengungkapkan rasa
terima kasih saya kepada ibu. Ibu yang dulunya saya segani sampai sekarang
masih tetap saya segani. Di tambah lagi kagum. Saya kagum dengan semangat ibu,
kedisiplinan, kecerdasan, keuletan dan cara ibu menunjukkan rasa peduli. Saya
tahu di setiap perkataan keras ibu, terselip suatu harapan agar kami menjadi
lebih baik. Ada do’a dalam marah-marahnya ibu. Saya tahu itu.
Tolong maafkan saya,
Bu.
Dan terima kasih untuk
senyum tiga jarinya pas poto wisuda kemarin. Saya senang menjadi bagian dari
mahasiswi bimbingan ibu. Meski seringkali membuat ibu kesal. Saya senang ibu
sering marah-marah pada saya, karena dengan begitu ibu telah berharap sesuatu yang
baik untuk saya. Berdo'a untuk kebaikan saya.
Semoga ibu selalu mengingat saya setiap kali ibu merasa kesal. Semoga ibu memaafkan saya, mahasiswi cengengesan yang selalu membuat ibu marah-marah.
-Dari mantan mahasiswi bangku belakang pojok sebelah kanan-
Ps:
Surat ini tidak perlu dibalas. Jika teman-teman mengenal ibu yang saya maksud,
tolong jangan sampaikan surat ini.
Picturenya horor
BalasHapusYailah ._.
HapusTulisannya bagus kak :)) andai aja dosenku ada yg kayak gini B)
BalasHapusPasti ada, kok. Semua dosen pasti berharap yang terbaik untuk mahasiswanya.
HapusKursiny ngingetin ama pelem bangku kosong mba... -,-"
BalasHapusYailah :))
Hapuswaaa... selamat kakak udh lulus, aku ngeri bacanya, takut jg sama dosen -_-
BalasHapusAwalnya emang bikin ngeri tapi ujung-ujungnya malah dia yang ngebimbing sampai akhir.
BalasHapustes tes... eh komenku udah masuk, atau belum yak -_-
BalasHapuseh ya ampun komenku yang pertama ilang :)))
BalasHapusaku juga punya dosen yang seperti itu, kalau udah lulus berasa kangen banget :')
Tul betul
HapusSweet letter :')
BalasHapusKalo beliau baca pasti senyum, lalu nangis, lalu nyengir
heehehe
kursinya ngingetin aku sama anak" 91 *ehmalahcurhat* kalo ibunya baca dia pasti terharu bingits ini :)
BalasHapusSayangnya dia gak mungkin baca surat ini.
Hapussemoga aja dia baca ya mbak :-)
BalasHapus