Jumat, 01 Agustus 2014

Surat Terbuka Untuk Ibu De

Halo.. Selamat pagi, Bu.


Mmm.. Saya bingung mau nulis apalagi setelah bilang halo dan selamat pagi, Bu. Nanyain kabar? Tapi kita baru saja bertemu beberapa hari yang lalu. Mau nulis heyo what’s up? Malah jadi kelihatan sok akrab. Jadi, langsung aja ya, Bu.

Belakang pojok sebelah kanan

Bu..
Dulu, sewaktu semester kedua perkuliahan, ibu keren sekali. Ketika itu ibu sedang hamil anak kedua, usia kehamilan ibu saat itu mungkin sudah memasuki 28 minggu. Namun, ibu tetap selincah seperti biasanya. Menjelaskan pelajaran, mempraktekkan ilmu, mengendarai motor sendiri dari kampus lama ke kampus baru, bahkan marah-marahnya ibu tidak berubah sedikitpun. Di mata saya, ibu telah berhasil merealisasikan apa yang selalu ibu ajarakan kepada kami. Ibu berhasil membuktikan bahwa kehamilan bukanlah alasan untuk bermalas-malasan.

Setelah melahirkanpun ibu tidak memerlukan waktu lama untuk kembali pulih dan mengajar seperti biasa lagi. Ibu selalu bersemangat membagi ilmu kepada kami. Ibu sangat keren. Two thumbs for you.

Bu..
Apakah ibu ingat saat pertama kali ibu marah pada saya? Ibu memanggil saya yang saat itu menjabat sebagai ketua kelas ke kantor dosen. Ibu bertanya “Siapa yang datang terlambat?” Dengan berani saya menjawab tidak ada yang datang terlambat. Padahal ibu melihat dari jendela ruangan ibu ada yang datang terlambat. Saat itu ibu hampir menghukum saya karena berbohong dan mencoba menyembunyikan teman saya yang datang terlambat. Ibu tampak begitu kesal.

Di semester IV, Ibu terlihat 10 kali lipat lebih kesal dari sebelumnya. Saat itu ibu meminta kami anak-anak VIII A untuk meminjamkan almamater kepada adik tingkat yang akan koor di wisuda ibu-ibu progsus. Tapi, keesokan harinya hanya beberapa orang yang membawa almamater. Besoknya lagi, malah gak ada yang bawa sama sekali. Ibu mengembalikan almamater itu. Saya ingat betul saat itu ibu berdiri di depan pintu kelas kami di kampus baru, lalu berkata..  

“Terima kasih buat yang udah mau minjamin almamaternya. Saya sudah catat nama-namanya. Buat yang gak mau minjamin juga terima kasih. Saya akan ingat ini. Saya akan ingat betul ini.”

Seisi kelas hening.


Bu..
Apakah ibu tau kalau saya adalah salah satu dari anak-anak yang gak bawa almamater? Alasan saya, mungkin juga teman-teman saya, gak bawa almamater karena lupa, bukan karena gak mau minjamin ke adik tingkat, Bu. Serius.

Bu..
Apakah ibu juga tau kalau ibu adalah salah satu dosen yang sangat saya segani semenjak kuliah? Jika mahasiswi lain memilih untuk duduk di kursi paling depan agar mudah mencerna ilmu ataupun mudah dikenal oleh ibu, saya lebih memilih untuk duduk di kursi paling belakang, pojok sebelah kanan. Sebisa mungkin saya sembunyikan wajah saya dari pandangan ibu. Saya takut jikalau ibu bertanya kepada saya, saya tidak bisa menjawab, lalu ibu marah-marah. Saya takut sekali itu.

Tapi, Bu.
Semakin saya menjauhkan diri dari ibu semakin keadaan mendekatkan kita. Seperti saat presentasi individu, dosen pematerinya adalah ibu. Dengan terbata-bata saya menjelaskan materi bagian saya. Saat itu ibu memuji presentasi saya karena saya menampilkan gambar yang dapat membantu teman-teman memahami materi yang saya sampaikan. Namun, ibu juga mengkritik karena saya begitu kaku dalam menyampaikan materi. Sambil ketawa-ketawa kecil, ibu bilang saya mengalami penyakit “G” yaitu gerogi.

Saya memang gerogi, Bu. Selain itu adalah presentasi individu pertama saya, dosen pematerinya adalah ibu, dosen yang sangat saya segani.

Lalu, saat semester akhir, kita semakin sering bertemu karena ibu adalah dosen pembimbing TA saya. Banyak sekali hambatan di masa-masa TA, mulai dari judul yang gak masuk akal, judul ditolak, sampai harus menunggu kepulangan ibu dari jadwal kuliah ibu. Belum lagi saya harus menaklukkan rasa takut setiap kali ingin konsul TA.

Bu..
Sebenarnya saya malu setiap kali bertemu ibu semenjak ujian proposal 14 Mei yang lalu. Apa ibu masih ingat hal yang terjadi pada hari itu? Apa ibu masih marah pada saya karena itu?

Maaf untuk semua kebodohan dan kecengengesan saya, Bu.

Kejadian 14 Mei itu membuat rasa takut saya menjadi 75%, rasa malu 80% dan rasa gak pengin konsul lagi 97%.

Dengan bermodalkan niat konsul 3% akhirnya saya bisa juga sidang TA.

Satu hari sebelum sidang ibu menelpon saya. Bu, apakah ibu tau saat ibu menelpon, saya tidak sedang berada di kamar mandi? Saya ada di depan handphone saya, Bu. Sambil memandangi nomer panggilan masuk di layar handphone, saya berpikir..

“Serius ini ibu? Kesalahan apalagi yang saya perbuat? Ah ini pasti jebakan, nih, pasti ada kamera tersembunyi, nih.”

Hingga akhirnya handphone berhenti berdering.

Lalu, saya sms ibu, bilang tadi lagi di kamar mandi. SMS karena pulsa gak cukup buat nelpon, Bu. Tak lama setelah sms terkirim, Ibu menelpon lagi.

Bu, kenapa gak sms aja, Bu?

Saya menjawab. Ibu berbicara…di telpon. Meski saya gak tau apa yang ibu pikirkan tentang saya saat itu, saya merasa senang. Itu kesempatan yang gak semua mahasiswi dapatkan. Berbicara di telpon, dipanggil “Nak” oleh ibu.  

Saya lebay? Katanya iya, Bu.

Lalu besoknya saya sidang TA. Yang menurut saya tidak keren sekali karena ketidakyakinan saya di awal. Sungguh bukan akhir seperti itu yang saya inginkan. Jelek sekali.

Bu..
Maaf jika saya lancang menulis surat ini. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada ibu. Ibu yang dulunya saya segani sampai sekarang masih tetap saya segani. Di tambah lagi kagum. Saya kagum dengan semangat ibu, kedisiplinan, kecerdasan, keuletan dan cara ibu menunjukkan rasa peduli. Saya tahu di setiap perkataan keras ibu, terselip suatu harapan agar kami menjadi lebih baik. Ada do’a dalam marah-marahnya ibu. Saya tahu itu.

Tolong maafkan saya, Bu.

Dan terima kasih untuk senyum tiga jarinya pas poto wisuda kemarin. Saya senang menjadi bagian dari mahasiswi bimbingan ibu. Meski seringkali membuat ibu kesal. Saya senang ibu sering marah-marah pada saya, karena dengan begitu ibu telah berharap sesuatu yang baik untuk saya. Berdo'a untuk kebaikan saya.

Semoga ibu selalu mengingat saya setiap kali ibu merasa kesal. Semoga ibu memaafkan saya, mahasiswi cengengesan yang selalu membuat ibu marah-marah.
  
-Dari mantan mahasiswi bangku belakang pojok sebelah kanan-
  
Ps: Surat ini tidak perlu dibalas. Jika teman-teman mengenal ibu yang saya maksud, tolong jangan sampaikan surat ini.

15 komentar:

  1. Tulisannya bagus kak :)) andai aja dosenku ada yg kayak gini B)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasti ada, kok. Semua dosen pasti berharap yang terbaik untuk mahasiswanya.

      Hapus
  2. Kursiny ngingetin ama pelem bangku kosong mba... -,-"

    BalasHapus
  3. waaa... selamat kakak udh lulus, aku ngeri bacanya, takut jg sama dosen -_-

    BalasHapus
  4. Awalnya emang bikin ngeri tapi ujung-ujungnya malah dia yang ngebimbing sampai akhir.

    BalasHapus
  5. tes tes... eh komenku udah masuk, atau belum yak -_-

    BalasHapus
  6. eh ya ampun komenku yang pertama ilang :)))
    aku juga punya dosen yang seperti itu, kalau udah lulus berasa kangen banget :')

    BalasHapus
  7. Sweet letter :')

    Kalo beliau baca pasti senyum, lalu nangis, lalu nyengir
    heehehe

    BalasHapus
  8. kursinya ngingetin aku sama anak" 91 *ehmalahcurhat* kalo ibunya baca dia pasti terharu bingits ini :)

    BalasHapus
  9. semoga aja dia baca ya mbak :-)

    BalasHapus

Mohon kritik, saran, dan kasih sayangnya teman - teman :D