Rabu, 17 Juni 2015

Tiga Minggu Dalam Diam



Hallo.. long time no write.

Sudah tanggal 17 di bulan keenam, tapi belum ngepost apa-apa. Terakhir pas pertengahan Mei, yang isinya udah kayak orang mau ninggalin planet bumi. Emang dasar ya blogger alay, males lagi. Hih. Beda banget sama gue.

Oiya.. khusus dalam postingan kali ini, “saya” akan diganti “gue”. Biar kalian nyaman bacanya dan saya—ehmmm, gue, juga nyaman bercerita. Tulisan-tulisan mendayu-dayu nan galau seperti dua bulan terakhir gue rasa udah cukup. Dan perlu dibarengi dengan tulisan-tulisan seperti sebelum dua bulan itu. Yekan?

Sekarang gue akan menjawab 2 pertanyaan pada postingan sebelumnya.

HowHaw : Tugas di daerah mana sih, Kak? Kalo 6 jam ke arah Toba dengan kecepatan mobil sih bisa nyampe kampungku itu. :v
KresnoadiDH : Wah di mana itu? Hati-hati mi!

Wahai Dik How Haw dan Bapak Kresnoadi DH yang berbahagia, terima kasih untuk pertanyaannya. Berkat pertanyaan kalian gue jadi bisa memulai tulisan ini. Sini peluk dulu {}

Gue bertugas di daerah Kalimantan Barat, di ujung Ketapang. Jauh banget sama Toba. Jalannya… warbiasak awesome! Rintangan di Benteng Takesi mah nggak ada apa-apanya. Dari pusat Kota Ketapang gue disuguhkan berbagai jenis macam jalan.

Jalan aspal licin – aspal berbatu – aspal berlobang kecil – aspal berlobang besar – lobang semua - tanjakan tinggi (bukit) – ada tanjakan pasti ada turunan – aspal hilang – tanpa aspal – jalan dengan pasir kuning – jalan dengan pasir putih – plus bonus becek kalau hujan dan berdebu kalau nggak hujan.

Kalau ada yang bawa kertas bertuliskan alamat desa tujuan gue ini dan bertanya.

“Adik kece, alamat ini dimana ya?” sambil nunjukin kertas.
Gue akan menjawab dengan mantap, “Nyerah deh nyeraaaah. Hayati mah bisa apa, Bang.”

Lihat jalan begini. Hayati mah bisa apa, Bang.

Total waktu perjalanan sekitar 5 jam kalau sambil liat kiri-kanan dan 4 jam kalau liat depan terus. Bisa sih 2 jam nyampe kalau nggak liat kiri-kanan-depan, liat belakang, putar haluan balik lagi ke rumah.

Tapi semuanya terbayarkan dengan tempat kerja yang nyaman dan orang-orang yang ramah. Di sana gue tinggal di sebuah rumah bersama orang-orang baik. Di sebuah desa yang dikelilingi perkebunan sawit, juga perbukitan. Dan sebuah senja yang sangat indah.


Disana gue menjadi ismie yang pendiam, tidak banyak bicara, dan perindu berat. Gue terlalu sibuk memikirkan hal-hal tidak penting, lalu mengabaikan orang-orang baik di sekitar gue. Gue terlalu sibuk merindukan rumah dan orang-orang yang—entah benar atau tidak, merindukan gue juga. Gue terlalu sibuk mencari jalan untuk pulang.

Kecerian dan keceplas-ceplosan gue seakan hilang terbawa angin dalam perjalanan menuju Desa. Gue heran, teman-teman gue juga heran. Sekarang gue sudah pulang ke rumah untuk mengumpulkan kecerian itu. Mengembalikan lagi ismie seperti yang dulu. Uye.

Wait! Berkat ismie yang pendiam, tidak banyak bicara, dan perindu berat, gue jadi kepikiran untuk menulis sebuah novel dengan tema “ada deh”. Rahasia hehe. Do’ain cepat selesai dan diterima penerbit ya, gaes.

Oke, cukup sampai disini dulu. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Do’ain juga biar gue bisa kembali konsisten ngeblog ya. :)

8 komentar:

  1. Setidaknya disana masih lebih sejukkan kak Ismie..

    Amin.. kalo udah selesai bilang ya.. kepo mau baca wkwk

    BalasHapus
  2. Wuih. Di sana ada koneksi internet gak? Biar tetep bisa ngeblog mi!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada, provider tertentu aja. Itupun sinyal Edge.

      Hapus
  3. kayanya parah disana ya ,, tapi malah banyak orang yang cari tempat kaya gitu karena udara emang nyaman :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut gue sih udaranya sama aja kayak di ketapang, hanya saja disana orangnya lebih ramah dan dapet banget pedesaannya.

      Hapus

Mohon kritik, saran, dan kasih sayangnya teman - teman :D